Kamis, 20 Desember 2012

Kota Tebing Tinggi


Kota Tebing Tinggi adalah salah satu kota di Sumatera Utara, Indonesia.Menurut Data Badan Informasi dan Komunikasi Sumatera Utara, Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan kota dari 33 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan (Ibu kota Provinsi Sumatera Utara) serta terletak pada lintas utama Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah Sumatera melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematangsiantar, Parapat, Balige dan Siborong-borong.

Tebing Tinggi beriklim tropis dataran rendah. Ketinggian 26 – 24 meter di atas permukaan laut dengan topografi mendatar dan bergelombang. Temperatur udara di kota ini cukup panas yaitu berkisar 25° - 27 °C. Sebagaimana kota di Sumatera Utara, curah hujan per tahun rata-rata 1.776 mm/tahun dengan kelembaban udara 80%-90%.Di Tebing Tinggi terdapat empat sungai yang mengalir dari barat menuju timur. Keempat sungai tersebut adalah Sungai Padang, Sungai Bahilang, Sungai Kalembah, dan Sungai Sibaran. Daerah sekitar Sungai Padang dan Bahilang merupakan wilayah potensi banjir, yaitu Kelurahan Bandar Utama, Persiakan, Bandar Sono, Mandailing, Bagelan, Rambung, Tambangan, Brohal dan Rantau Laban.

Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran sungai Padang dan sungai Bahilang itu mulai dihuni sebagai tempat tinggal pada tahun 1864. Inilah pernyataan resmi pertama kali yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota Tebing Tinggi pada tahun 1987. Pernyataan ini terdapat dalam makalah berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi.” Makalah ini kemudian dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.

Dalam makalah itu dipaparkan bagaimana perkembangan daerah ini pasca tahun 1864. Dimana dalam tahun-tahun itu, berdasarkan penuturan lisan yang sambung menyambung, seorang bangsawan dari Wilayah Bandar Simalungun ( sekarang masuk wilayah Pagurawan )bernama Datuk Bandar Kajum bersama pengikut setianya menyusuri sungai Padang untuk mencari hunian baru, hingga kemudian mereka mendarat dan bermukim di sekitar aliran sungai besar itu. Pemukiman itu bernama Kampung Tanjung Marulak – sekarang Kelurahan Tanjung Marulak, Kec. Rambutan.

Namun kehidupan bangsawan dari Bandar ini tidaklah tenteram, karena dia terus saja diburu oleh tentara kerajaan Raya. Maka, Datuk Bandar kajum pun memindahkan pemukimannya ke suatu lokasi yang persis berada di bibir sungai Padang. Pemukiman itu merupakan sebuah tebing yang tinggi. Dia dan para pengikutnya mendirikan hunian di atas tebing yang tinggi itu sembari memagarinya dengan kayu yang kokoh. Pemukiman Datuk Bandar Kajum inilah yang sekarang berlokasi di Kelurahan Tebing Tinggi Lama, Kec. Padang Hilir dan kini menjadi lokasi pemakaman keturunan Datuk Bandar Kajum, kemudian yang diyakini sebagai cikal bakal nama Tebing Tinggi.

Pada masa itu, tentara dari Kerajaan Raya suatu kali kembali menyerang Kampung Tebing Tinggi untuk menangkap Datuk Bandar Kajum, tapi karena tidak berada di tempat, Datuk Bandar Kajum yang bergelar Datuk Punggawa ini selamat. Sedangkan keluarganya bersama pengikutnya melarikan diri ke Perkebunan Rambutan yang saat itu di bawah kekuasaan Kolonial Belanda. Lalu dibantu oleh Belanda, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan serangan balasan terhadap tentara Kerajaan Raya ini. Dalam peperangan itu, dia, bersama pengikutnya berhasil mengalahkan penyerang.

Setelah suasana kembali aman, untuk tetap menjaga ketentraman daerah itu, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan perjanjian dengan Belanda. Oleh Belanda daerah kekuasaan Datuk Bandar Kajum ini dilebur menjadi wilayah taklukan Kerajaan Deli. Penanda tanganan perjanjian itu, terang kertas kerja tersebut, dilakukan Datuk Bandar Kajum dan Belanda di sebuah sampan bernama “Sagur” di sekitar muara sungai Bahilang.

Adalah Datuk Idris Hood bersama Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar, Amirullah, Kasmiran, Djunjung Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan dan OK Siradjoel Abidin yang membuat kertas kerja itu dan berusaha menggali historisitas berdirinya Kota Tebing Tinggi. Namun, sebagian besar tokoh itu sudah wafat, sehingga kalangan generasi muda merasa kesulitan untuk melacak akar historis daerah yang bergelar kota lemang itu. Salah satu di antara tokoh itu yang masih hidup adalah Mangara Sirait, mantan anggota DPRD Tebing Tinggi, yang kini bermukim di belakang LP Tebing Tinggi.

Pertanyaan yang paling mendasar bagi kalangan generasi muda kota itu, saat ini adalah, apa nama daerah hunian dan tempat tinggal di sepanjang aliran sungai Padang dan sungai Bahilang itu sebelum nama ‘Tebing Tinggi’ muncul dalam data sejarah?. “Daerah itu bernama Kerajaan Padang,” tegas Amiruddin Damanik, 91, warga Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagei, suatu kali ketika penulis berbincang-bincang dengan dia. Jauh sebelum ada kampung Tebing Tinggi, ujarnya memulai cerita, sepanjang aliran sungai Padang dari hulu hingga hilir, daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Padang.

Kerajaan ini dulunya merupakan daerah otonom di bawah Kerajaan Deli yang berpusat di Deli Tua, kata Amiruddin Damanik yang merupakan mantan penghulu pada masa penghujung berakhirnya kerajaan itu menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Pusat kerajaan ini, lanjut dia, berada di Kampung Bandar Sakti—sekarang Kelurahan Bandar Sakti, Kecamatan Rambutan—yang merupakan pelabuhan sungai dan menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. “Waktu itu sungai merupakan sarana transportasi utama, jadi wajar kalau ibu kota Kerajaan Padang berada di tepian sungai Padang,” terang laki-laki yang terlihat masih memiliki ingatan kuat meski pisiknya sudah sepuh.

Pusat administrasi Kerajaan Padang ini berada di sebuah bangunan bergaya arsitektur Eropah yang saat ini menjadi markas Koramil 013, di Jalan KF Tandean. Bangunan itulah yang jadi saksi bisu keberadaan Kerajaan Padang, kata laki-laki yang memiliki sepuluh anak dan puluhan cucu serta cicit ini. Sedangkan istana raja lokasinya tidak berapa jauh dari pusat administrasi kerajaan. “Seingat saya, dulu istana itu masih ada di belakang panglong, bersisian dengan Jalan Dr. Kumpulan Pane dan masih terlihat dari persimpangan Jalan KF Tandean. Tapi sekarang entah ada lagi entah tidak,” tutur Amiruddin Damanik, yang mengaku sudah belasan tahun tidak ke kota (Tebing Tinggi). Historis Kerajaan Padang ini, lanjut dia, bisa dilacak juga melalui cerita lisan yang sambung menyambung, bermula dari memerintahnya seorang penguasa bernama Raja Syah Bokar. Bersama raja ini ada juga beberapa pembantu raja yang dikenal cukup berpengaruh masa itu, mereka adalah Panglima Daud berkedudukan sebagai panglima perang dan Orang Kaya Bakir sebagai bendahara kerajaan.

Di bawah pengaruh raja ini, Kerajaan Padang memiliki daerah yang luas terdiri dari puluhan kampung dan dipimpin kepala kampung masing-masing. Tiap-tiap kampung merupakan daerah otonom tapi tunduk pada kekuasaan raja Kerajaan Padang. Di sebelah utara, Kerajaan Padang berbatasan dengan perkebunan Rambutan yang dikuasai Belanda. Di sebelah selatan Kerajaan Padang memiliki kampung-kampung yang menjadi batas wilayahnya dengan Kerajaan Raya, Simalungun. Kampung itu adalah Huta Padang dan Bartong –saat ini berada di Kec.Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagei. Ke arah barat, kerajaan ini mencapai Kampung Pertapaan –sekarang masuk Kec. Dolok Masihul, Sergai. Demikian pula ke arah timur, kerajaan ini memiliki batas hingga ke Bandar Khalifah—sekarang Kec. Bandar Khalifah, Sergai.

Kerajaan Padang masa itu dihuni penduduk dari multi etnis, baik etnis lokal maupun dari mancanegara. Hingga kini bukti-bukti multi etnisitas itu terlihat dari penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Tebing Tinggi., seperti, Kampung Jawa, Kampung Begelen, Kampung Rao, Kampung Mandailing, Kampung Tempel, Kampung Batak dan Kampung Keling. Penamaan kampung yang terakhir ini berlokasi di pinggiran sungai Padang –saat ini terletak di Kelurahan Tanjung Marulak—menginformasikan bahwa pada masa Kerajaan Padang wilayah itu sudah di huni salah satu suku bangsa dari anak benua India. Bukti arkeologis keberadaan etnis anak benua India itu dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah perahu bergaya Hindu mengendap dari kedalaman sungai Padang di Desa Kuta Baru sekira lima tahun lalu. Namun sayang, bangkai kapal itu hancur karena tidak terawat.

Demikian pula dengan keberadaan etnis Tionghoa telah ada seiring dengan perkembangan hubungan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. Etnis Tionghoa kala itu, banyak menghuni pinggiran muara sungai Bahilang. Kelompok mereka dipimpin seorang kapitan. “Hingga kini kalau saya tidak salah kediaman kapitan Cina iu masih ada di Jalan Iskandar Muda berhadapan dengan bekas bioskop Metro,” tegas orang tua yang enggan di panggil kakek itu. Di samping kedua etnis ini, orang-orang Belanda juga belakangan menghuni Kerajaan Padang . Ini dibuktikan dengan adanya perkuburan mereka yang disebut Kerkof (kuburan) di Kampung Bagelen –sekarang di Jalan Cemara.

Beberapa kampung yang spesifik dari kegiatan penduduk kala itu juga masih terabadikan hingga kini, misalnya Kampung Bicara, Bandar Sono, Kampung Persiakan, Kampung Durian, Kampung Jati, Kampung Sawo, Kampung Kurnia, Kampung Jeruk, Kampung Semut, Kampung Tambangan, Kampung Sigiling dan Kampung Badak Bejuang serta beberapa kampung lainnya. “Sebelum sampai Sipispis, ada satu kampung bernama Bartong, itulah batas wilayah terjauh Kerajaan Padang,” tegas tokoh sepuh itu yang pernah menjadi tahanan politik di awal Orde Baru. Batas itu diperoleh Kerajaan Padang setelah memenangkan pe perangan dengan Kerajaan Raya. “Perang itu bernama perang Lopot-Lopot, artinya perang intip-mengintip,” jelas penutur ini.

Asal terjadinya perang, urai Amiruddin, bermula dari seringnya muncul gangguan yang kadang-kadang berakhir dengan pembunuhan dari orang-orang Kerajaan Raya terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Kampung Bulian. Akibatnya, karena ketakutan penduduk Kampung Bulian ini banyak yang mengungsi hingga ke Bandar Sakti. Melihat keadaan ini, pasukan Kerajaan Padang kemudian membuat sebuah jembatan di atas sungai Kelembah. Maksud dibuatnya jembatan ini untuk mengontrol siapa saja orang-orang yang keluar-masuk ke ibu kota kerajaan.

Ternyata, dibuatnya jembatan itu membuat Kerajaan Raya tidak senang, sehingga mereka selalu saja mengganggu ketentraman warga di Kerajaan Padang. Menghadapi keadaan tidak tentram itu, Raja Syah Bokar kemudian memerintahkan Panglima Daud untuk mengusir para pengacau itu. Maka dalam pengusiran itulah, Panglima Daud melakukan penaklukan terhadap beberapa kampung lainnya, hingga kemudian panglima Kerajaan Padang ini menghentikan pengejaran di Kampung Bartong. Lalu, kampung inilah yang dijadikan batas Kerajaan Padang. Usai peperangan, Kerajaan Padang harus menghadapi suatu masa pancaroba dalam bentuk perebutan kekuasaan. Dalam suatu acara perburuan di Bandar Khalifah, Raja Syah Bokar karena pengkhianatan panglimanya, mati terbunuh. Lalu, sepeninggal sang raja, kekuasaan dikendalikan oleh OK Bakir. Bendaharawan kerajaan ini menjalankan pemerintahan menunggu dua anak Raja Syah Bokar yang bernama Tengku Alamsyah dan Tengku Hasyim menamatkan sekolahnya di Batavia.

Dalam catatan penutur, di saat jabatan di pangku OK Bakir inilah Kerajaan Padang kemudian takluk di bawah Kerajaan Deli yang otomatis menjadi taklukan Kolonial Belanda. Sebagai bukti ketundukan terhadap Kerajaan Deli, kerajaan induk ini kemudian mengirim salah seorang petingginya menjadi pemangku raja di Kerajaan Padang. Petinggi Kerajaan Deli itu bernama Tengku Jalal yang kemudian menjabat sebagai raja menanti keturunan raja yang wafat pulang dari tugas belajar. Selesai menamatkan sekolah, kedua keturunan raja ini kemudian kembali ke Kerajaan Padang untuk melanjutkan tampuk kekuasaan. Pemegang tampuk kekuasaan pertama jatuh ke tangan anak tertua yakni Tengku Alamsyah. Baru kemudian diserahkan kepada anak lainnya yakni Tengku Hasyim. Di tangan Tengku Hasyim ini, gejolak menuntut kemerdekaan terhadap Kolonial Belanda menggemuruh. Sehingga akhirnya seluruh wilayah Kerajaan Padang melebur menjadi Tebing Tinggi dengan batas-batas yang ditentukan administrasi Kolonial Belanda. Batas-batas inilah yang hingga kini menjadi patok administrasi Kota Tebing Tinggi.

Akan halnya Datuk Bandar Kajum, berdasarkan pada penuturan historis lebih awal ini, diperkirakan sebagai salah seorang pemuka masyarakat di Kerajaan Padang. Dia, mendapatkan kehormatan dari penguasa Kerajaan Padang dengan gelar Datuk Punggawa karena kesertaannya dalam perang menghadapi Kerajaan Raya. Datuk Bandar Kajum pun kemudian diberikan tanah dan wewenang untuk membangun pemukiman yang kemudian disebut Kampung Tebing Tinggi. Lalu, dari pelacakan akar historis Kota Tebing Tinggi pada masa lalu, setidaknya harapan masyarakat Kota Tebing Tinggi untuk melakukan pemekaran wilayah, sebenarnya memiliki momentum historisitas yang bisa jadi memiliki validitas kuat. Jika menggunakan data sejarah di atas—meski merupakan data lisan—sebenarnya wilayah Kota Tebing Tinggi sekarang ini lebih kecil dari wilayah Kerajaan Padang yang berpusat di kota itu. Ada puluhan desa dan kampung di hinterland yang dulunya merupakan wilayah Kerajaan Padang.

Namun karena keberadaan wilayah Tebing Tinggi ini hanya didasarkan pada data Kolonial Belanda, keadaannya menjadi riskan. Kota Tebing Tinggi sebagai ibu kota Kerajaan Padang harus kehilangan puluhan kampung yang dulunya merupakan bagian dari Kota Tebing Tinggi tempo doeloe itu. Sekali lagi hal ini membuktikan, ternyata penjajahan Kolonial Belanda telah merugikan Tebing Tinggi dalam soal administrasi kewilayahan. Sudah saatnya memang kita menagih kembali daerah Tebing Tinggi yang hilang berdasarkan wilayah Kerajaan Padang. Ayo bung, kita mekarkan Kota Tebing Tinggi berdasarkan data historis itu.

Sebagian besar penduduk Kota Tebing Tinggi, ditempati oleh Suku Melayu 70%, Suku Jawa 15%, Batak 8%, Tionghoa dan lain-lain.Tempat wisata di Kota Tebing Tinggi belum banyak tergali. Sebagai wilayah bekas Kerajaan Melayu Padang, hingga kini masih berdiri bangunan bekas Istana Kerajaan Padang di Jl. KF Tandean, Bulian. Istana ini masih bertahan walau bukan bahagian utuh lagi. Lokasi Istana yang menuju Pantai Keladi ini, sekarang diurus oleh waris kerajaan dari turunan Tengku Irwan Hasyim(Tengku Irwan Hasyim adalah Putra dari Tengku Hasyim, beristrikan Tengku Ina Nazli, walau beliau juga pernah beristrikan seorang Swedia). Di sisi kiri Istana terdapat Kompleks Pusara Bangsawan Padang. Masih terdapat beberapa rumah melayu lama di beberapa tempat di Kota Tebing Tinggi, seperti di daerah Bulian Ujung; sebuah Rumah berornamen melayu bekas kediaman Tengku Tokoh.

Di Jl. Syech Baringin, terdapat Makam Tuan Syech Baringin, seorang Sufi yang disegani di wilayah ini pada masanya. Di kompleks makam Sang Sufi masih berdiri Bekas rumah kediamannya yang mirip Rumah Gadang Sumatera Barat. Sayang, Kondisinya sangat memprihatinkan Di Tebing Tinggi ada beberapa sungai yang berpantai pasir. Walau tanpa pengembangan lokasi-lokasi ini sering dijadikan tempat wisata lokal bagi masyarakat tempatan. Di wilayah Sungai Sigiling dan Batu Ampat, ada terdapat kolam pemancingan dan kolam rekreasi yang dikelola atas swadaya masyarakat sendiri. Di kawasan Kota Bayu, lebih kurang 4 kilometer dari pusat Kota Tebing Tinggi, sejak April 2012 terdapat kolam renang Bayu Lagoon. Menyediakan fasilitas tiga kolam renang dimana salah satu kolam untuk anak-anak dilengkapi dengan papan seluncur. Tempat rekreasi ini juga dilengkapi musholla, lahan parkir, ATM, dan rumah makan. Pada Sabtu malam dan Rabu malam, pemuda pemudi banyak juga menghabiskan paruh malam di sekitar Lapangan Merdeka Jl. Sutomo yang dikenal dengan Lapangan Sri Mersing.

Ada sebuah keunikan pada malam-malam Hari Raya, Budaya berkeliling kota dengan beca bisa kita saksikan sebagai sebuah wisata muatan lokal. Sebuah beca bisa berisi 8 hingga 10 penumpang. Hutan beca sepanjang malam hari raya mempunyai kekhasan tersendiri. Antara penumpang beca satu dengan penumpang beca yang lain dibenarkan saling berlempar-lemparan air atau menembak dengan pistol air; tidak ada kemarahan. Entah kapan budaya ini bermulai, tetapi kebiasaan ini berlangsung setiap tahunnya. Kota Tebing Tinggi pernah tercatat sebagai kota kecil dengan jumlah bioskop sangat banyak. Di era 1980, kota ini memiliki bioskop Prince Jl KF Tandean, Bioskop Ria Jl Sudirman, Bioskop Golden Jl Patimura dan Bioskop Deli di kawasan pajak mini. Memasuki tahun 1990-an, penggemar film di Kota Lemang makin terhibur dengan kehadiran Studio 21 yang memperkenalkan bioskop modern dengan empat studio yang kala itu populer disebut bioskop kembar. Makin maraknya pembajakan VCD, DVD dan kerusuhan Mei 1998 akhirnya membuat bisnis hiburan mati satu persatu. Bioskop Prince, Golden, Studio 21, dan Ria saat ini sudah jadi pertokoan. Sementara Deli Theatre juga berubah menjadi ruko sarang burung walet.

Selain Studio 21, dari beberapa bioskop yang pernah ada di tebing Tinggi, Deli Theatre merupakan yang paling modern. Karena dilengkapi dengan pasar swalayan, dan arena permainan anak yang tersebar di bangunan berlantai 3.Makanan dari kota Tebing Tinggi adalah Lemang. Lemang merupakan makanan dari beras ketan yang dimasak dalam seruas bambu, setelah sebelumnya digulung dengan selembar daun pisang. Gulungan daun bambu berisi tepung beras bercampur santan kelapa ini kemudian dimasukkan ke dalam seruas bambu lalu dibakar sampai matang di atas tungku panjang. Lemang lebih nikmat disantap hangat-hangat, dengan campuran selai bahkan durian. Pusat penjualan lemang di Tebing Tinggi adalah di seruas jalan bernama Jl. KH Dahlan berseberangan dengan Masjid Raya Tebing Tinggi, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Jalan Tjong Afie. Lemang yang paling terkenal adalah Lemang Batok.

Lemang produksi kota Tebing Tinggi sangat terkenal lezat dan lemak. Karena kelezatannya itulah kota Tebing Tinggi juga dijuluki sebagai Kota Lemang. Sejak sekitar tahun 2005 di Tebing Tinggi muncul makanan baru, yakni Kue Kacang (di kota lain disebut Bakpia). Kue kacang yang terkenal adalah kue kacang bermerek Rajawali, Beo dan Garuda. Kue kacang banyak dijual di terminal Pajak (Pasar) Mini Tebing Tinggi. Karena kelezatannya dan harga yang ekonomis, Kue Kacang mulai menjadi ikon baru kuliner Tebing Tinggi selain Lemang. Halua merupakan manisan khas melayu. Halua bisa terbuat dari Buah Pepaya yang ditebuk atau dibuat anyaman yang disebut Buku Bemban, Pucuk Pohon Pepaya, Buah Paria, cabai, Meregat, Gelugur dan berbagai bahan lainnya. Meskipun tidak menjadi produksi bisnis, Halua akan tetap ada dalam upacara adat maupun lebaran.

1 komentar:

  1. Salam kenal dan salam MERDEKA.

    Mohon kesediaannya mengikuti jajak pendapat di link berikut:
    http://kotatebingtinggi.wordpress.com/jajak-pendapat/

    Sekalian mohon izin me-repost tulisan ya. Terimakasih

    BalasHapus