Pangkalan Kerinci adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Pelalawan, Riau. Kecamatan ini memiliki potensi pengembangan karena terletak di Jalan Raya Lintas Sumatera.Kawasan perkantoran baru di Pangkalan Kerinci ini telah dikembangkan dan dibangun di kawasan Bukit Seminai yang terletak di arah timur dari kota lama Pangkalan Kerinci tersebut. Kota lama Pangkalan Kerinci semenjak awal perkembangannya telah terpola untuk berkembang secara linier sepanjang tepi kiri kanan jalan yang mengarah ke utara-selatan.
Di sebelah barat dari kota lama Pangkalan Kerinci terdapat kawasan industri PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang merupakan industri penghasil bubur kertas dan produk kertas yang bahan bakunya diantaranya dipasok dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan jenis kayu Akasia. kabupaten ini terletak Kawasan Industri Kampar yang didalamnya berdiri Perusahaan Bubur Kertas dan produk Kertas yaitu PT Riau Andalan Pulp and Paper Kabupaten ini berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Kampar yang terdiri atas 4 (empat) wilayah kecamatan, yakni: Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut dan Kuala Kampar (Bab II. Pasal 3 Tentang Pembentukan, Batas Wilayah dan Ibukota). Sesuai dengan UU RI No. 53 Tahun 1999, Kabupaten Pelalawan terdiri atas 4 (empat) kecamatan, namun setelah terbit Surat Dirjen PUOD No.138/1775/PUOD Tanggal 21 Juni 1999 tentang pembentukan 9 (sembilan) Kecamatan Pembantu di Provinsi Riau, maka Kabupaten Pelalawan dimekarkan menjadi 9 (sembilan), yakni terdiri atas 4 kecamatan induk dan 5 kecamatan pembantu, tetapi berdasarkan SK Gubernur Provinsi Riau No. 136/TP/1443, Kabupaten Pelalawan dimekarkan kembali menjadi 10 (sepuluh) kecamatan. Namun setelah terbitnya Peraturan daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 06 tahun 2005, maka sekarang ini Kabupaten Pelalawan terdiri dari 12 kecamatan.
Dibelah oleh aliran sungai Kampar, kabupaten Pelalawan memilik beberapa pulau yang relatif besar yaitu: Pulau Mendol, Pulau Serapung dan Pulau Muda serta pulau-pulau yang tergolong kecil seperti: Pulau Tugau, Pulau Labuh, pulau Baru Pulau Ketam dan Pulau Untut. Luas seluruh wilayah kabupaten Pelalawan adalah sebesar: 12.647,29 Km2 (Luas Kecamatan-kecamatan ini diukur berdasarkan peta batas wilayah kecamatan dan telah ditetapkan melalui Surat Bupati No.050/Bappeda-B/2000/212, tentang batas dan luas wilayah kabupaten dan kecamatan). Jumlah penduduk Kabupaten Pelalawan hasil proyeksi yang dilakukan oleh BPS Pelalawan tahun 2007 adalah 276.353 jiwa, yang terd. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam yakni 257.447 jiwa dan lainnya beragama Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Mata pencaharian cukup beragam, diantaranya sebagai, Pengusaha, Pedagang, Buruh, Petani, Nelayan, Tukang, dan lain-lain Wilayah kerajaan Pelalawan yang sekarang menjadi Kabupaten Pelalawan, berawal dari Kerajaan Pekantua yang didirikan oleh Maharaja Indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik (Singapura) yang mendirikan kerajaan ini setelah Temasik dikalahkan oleh Majapahit dipenghujung abad XIV. Sedangkan Raja Temasik terakhir yang bernama Permaisura (Prameswara) mengundurkan dirinya ke Tanah Semenanjung, dan mendirikan kerajaan Melaka.
Maharaja Indera (1380-1420 M) membangun Kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (anak sungai Kampar, sekarang termasuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan) pada tempat bernama "Pematang Tuo" dan kerajaannya dinamakan "Pekantua". Selain itu Maharaja Indera membangun candi yang bernama "Candi Hyang" di Bukit Tuo (lazim juga disebut Bukit Hyang), namun sekarang lebih dikenal dengan sebutan "Pematang Buluh" atau Pematang Lubuk Emas, sebagai tanda syukurnya dapat mendirikan kerajaan Pekantua. Raja-raja Pekantua yang pernah memerintah setelah Maharaja Indera adalah Maharaja Pura (1420-1445 M), Maharaja Laka (1445-1460 M), Maharaja Sysya (1460-1460 M). Maharaja Jaya (1480-1505 M). Pekantua semakin berkembang, dan mulai dikenal sebagai bandar yang banyak menghasilkan barang-barang perdagangan masa lalu, terutama hasil hutannya. Berita ini sampai pula ke Melaka yang sudah berkembang menjadi bandar penting di perairan Selat Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas, oleh karena itu Melaka bermaksud menguasai Pekantua, sekaligus mengokohkan kekuasaannya di Pesisir Timur Sumatera. Maka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477 M), dipimpin oleh Sri Nara Diraja, Melaka menyerang Pekantua, dan Pekantua dapat dikalahkan.
Selanjutnya Sultan Masyur Syah mengangkat Munawar Syah (1505-1511 M) sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penabalan Munawar Syah menjadi raja Pekantua, diumumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi "Kerajaan Pekantua Kampar" dan sejak itu kerajaan Pekantua Kampar sepenuhnya berada dalam naungan Melaka. Pada masa inilah Islam mulai berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar.Setelah Munawar Syah mangkat, diangkatlah puteranya Raja Abdullah, menjadi Raja Pekantua Kampar (1511-1515 M). Di Melaka, Sultan Mansyur Syah mangkat, digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian mangkat dan digantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masalah inilah kerajaan Melaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis (1511 M). Sultan Mahmud Syah I mengundurkan dirinya ke Muar, kemudian ke Bintan dan sekitar tahun 1526 M sampai ke Pekantua Kampar.
Raja Abdullah (1511-1515 M), raja Pekantua Kampar yang masih keluarga dekat Sultan Mahmud Syah I, yang turut membantu melawan Portugis akhirnya tertangkap dan dibuang ke Gowa. Oleh karena itulah ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di Pekantua (1526 M) langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M) dan ketika beliau mangkat diberi gelar "Marhum Kampar". Makamnya terletak di Pekantua Kampar dan sudah berkali-kali dipugar oleh raja-raja Pelalawan. Pemugaran terakhir dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau dan pemerintah Negeri Melaka, Malasysia). Sultan Mahmud Syah I setelah mangkat digantikan oleh puteranya dari isterinya Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar "Sultan Alauddin Riayat Syah II". Tak lama kemudian, beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung, mendirikan negeri Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu, beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M)), yang bernama Tun Perkasa dengan gelar "Raja Muda Tun Perkasa". Tun Hitam (1551-1575 M), Tun Megat (1575-1590 M).
Ketika dipimpim oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar, kerajaan Johor telah berkembang pesat. Oleh karena itu Tun Megat, merasa sudah sepantasnya untuk mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi rajanya. Setelah mufakat dengan Orang-orang Besar Pekantua, maka dikirim utusan ke Johor, terdiri dari: Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja Dinda" (1950-1630 M). Terhadap Johor, kedudukannya tetaplah sebagai Raja Muda Johor. Sebab itu disebut juga "Raja Muda Johor di Pekantua Kampar". Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya Tun Perkasa.
Raja Abdurrahman yang bergelar Maharaja Dinda itu amatlah mencintai laut. Beliau mendirikan tempat pembuatan kapal layar di Petatal dan Limbungan (sekarang berada dalam wilayah Sungai Ara, Kecamatan Bunut. Bandar dagang yang sebelumnya berpusat di Bandar Nasi, dipindahkan ke Telawa Kandis. Selanjutnya beliau memindahkan pula pusat kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua (Pematang Tuo) ke Bandar Tolam (sekarang menjadi Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan).
Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh Puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M), Tak lama kemudian beliau mangkat, dan digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), yang selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Raja ini selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M). Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri banyak diganggu oleh wabah penyakit yang banyak membawa korban jia rakyatnya, namun para pembesar belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih sangat baru. Akhirnya beliau mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), beliau segera memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri karena dianggap sial akibat wabah penyakit menular yang menyebabkan banyaknya rakyat menjadi korban, termasuk ayahandanya sendiri. Namun upaya itu belum berhasil, karena masing-masing Orang Besar Kerajaan memberikan pendapat yang berbeda. Pada masa pemerintahannya juga, perdagangan dengan Kuantan ditingkatkan melalui Sungai Nilo, setelah mangkat, beliau digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). pada masa pemerintahannya diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ketempat yang oleh nenek moyangnya sendiri, yakni "Maharaja Lela Utama" pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725 M, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, maka nama kerajaan "PEKANTUA KAMPAR", diganti menjadi kerajaan 'PELALAWAN", yang artinya tempat lalau-an atau tempat yang sudah dicadangkan. Sejak itu, maka nama kerajaan Pekantua tidak dipakai orang, digantikan dengan nama Pelalawan saja sampai kerajaan itu berakhir tahun 1946. Didalam upacara itu pula gelar beliau yang semua Maharaja Dinda II disempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja lela Dipati. Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesar, karena beliau membuka hubungan perdagangan dengan Indragiri, Jambi melalui sungai Kerumutan, Nilo dan Panduk. Perdagangan dengan Petapahan (melalui hulu sungai Rasau, Mempura, Kerinci). Perdangan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri (melalui sungai Kampar) dan beberapa daerah lainnya di pesisir timur Sumatera. Untuk memudahkan tukar menukar barang dagangan, penduduk membuat gudang yang dibuat diatas air disebut bangsal rakit (bangsal rakit inilah yang kemudian berkembang menjadi rumah-rumah rakit, bahkan raja Pelalawan pun pernah membuat istana rakit, disamping istana darat).
Ramainya perdagangan di kawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di Johor. Setelah Sultan Mahmud Syah II (Marhum Mangkat Dijulang) mangkat akibat dibunuh oleh Megat Sri Rama, sehingga arus perdagangan beralih ke kawasan pesisir Sumatera bagian timur dan tengah, terutama di sungai-sungai besar seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Rokan. Dalam waktu itulah Pelalawan memanfaatkan bandar-bandar niaga untuk menjadi pusat perdagangan antar wilayah di pesisir timur dan tengah Sumatera.
Sultan Mahmud Syah II yang mangkat dibunuh oleh Laksemana Megat Sri Rama tidak berputera, maka penggantinya diangkat Bendahara Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Tak lama datang Raja Kecil Siak menuntut Tahta Johor, karena beliau mengaku sebagai putera Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya yang bernama Encik Pong. (Catatan silsilah raja-raja Siak menyebutkan bahwa ketika Sultan Mahmud Syah II mangkat, Raja Kecil masih dalam kandungan bundanya, yang sengaja diungsikan keluar dari Johor. Dalam pelarian itulah beliau lahir, kemudian dibawa ke Jambi dan dibawa ke Pagarruyung. Disanalah beliau dididik dan dibesarkan, sampai beliau turun kembali ke Johor melalui Sungai Siak untuk mengambil tahta Johor yang sudah diduduki oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah itu. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada yang mengakuinya sebagai putera Sultan Mahmud dan ada yang menolaknya. Tetapi para pencatat sejarah dan silsilah dikerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakui bahwa beliau adalah putera Sultan Mahmud Syah II.
Raja kecil menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian terjadi pula pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Pertikaian itu terus berlanjut dengan peperangan berkepanjangan. Raja Sulaiman akhirnya berhasil menduduki tahta Johor, dan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan bantuan lima orang putera bangsawan Bugis (1722-1760). Sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor sebelumnya (1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat negeri di Buatan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Kecil memerintah Siak 1722-1746 M). Berlangsungnya kerusukan di Johor itu menyebabkan Pelalawan melepaskan dirinya dari ikatan Johor, apalagi berita yang sampai ke Pelalawan mengatakan, yang memerintah di Kerajaan Johor sekarang bukan lagi keturunan Sultan Alaudin Riayat Syah, yang dulunya menjadi raja Pekantua Kampar.
Pada masa Sultan Syarif Ali bin Sayyid Usman Assegaf berkuasa di Siak (1784-1811 M), beliau menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai yang "Dipertuan", karena beliau adalah pewaris Raja Kecil, putera Sultan Mahmud Syah II Johor. Pelalawan yang masih merupakan kerajaan Hindu dibawah pimpinan Maharaja Lela ini menolaknya. Maka pada tahun 1797 dan 1798, kerajaan Siak Sri Indrapura menyerang kerajaan Pelalawan. Dengan dibimbing oleh ayahnya, Sayyid Usman bin Abdurrahman Assegaf yang merupakan ulama dari Tarim Hadramaut, Yaman Selatan, Sultan Syarif Ali Assegaf berhasil menakhlukkan wilayah sekitarnya yang kemudian dikenal sebagai daerah Jajahan Dua Belas termasuk Kerajaan Pekan Tua. Kerajaan Pekan Tua yang berbasis hindu inilah yang kelak merupakan cikal-bakal kerajaan Pelalawan. Setelah Kerajaan Pekan Tua ditakhlukkan, Adik lelaki beliau yang bernama Tengku Said Abdurrahman Assegaf menaiki tahta memerintah.
Raja Abdullah (1511-1515 M), raja Pekantua Kampar yang masih keluarga dekat Sultan Mahmud Syah I, yang turut membantu melawan Portugis akhirnya tertangkap dan dibuang ke Gowa. Oleh karena itulah ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di Pekantua (1526 M) langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M) dan ketika beliau mangkat diberi gelar "Marhum Kampar". Makamnya terletak di Pekantua Kampar dan sudah berkali-kali dipugar oleh raja-raja Pelalawan. Pemugaran terakhir dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau dan pemerintah Negeri Melaka, Malasysia). Sultan Mahmud Syah I setelah mangkat digantikan oleh puteranya dari isterinya Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar "Sultan Alauddin Riayat Syah II". Tak lama kemudian, beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung, mendirikan negeri Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekanbatu, beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M)), yang bernama Tun Perkasa dengan gelar "Raja Muda Tun Perkasa". Tun Hitam (1551-1575 M), Tun Megat (1575-1590 M).
Ketika dipimpim oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar, kerajaan Johor telah berkembang pesat. Oleh karena itu Tun Megat, merasa sudah sepantasnya untuk mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi rajanya. Setelah mufakat dengan Orang-orang Besar Pekantua, maka dikirim utusan ke Johor, terdiri dari: Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja Dinda" (1950-1630 M). Terhadap Johor, kedudukannya tetaplah sebagai Raja Muda Johor. Sebab itu disebut juga "Raja Muda Johor di Pekantua Kampar". Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya Tun Perkasa.
Raja Abdurrahman yang bergelar Maharaja Dinda itu amatlah mencintai laut. Beliau mendirikan tempat pembuatan kapal layar di Petatal dan Limbungan (sekarang berada dalam wilayah Sungai Ara, Kecamatan Bunut. Bandar dagang yang sebelumnya berpusat di Bandar Nasi, dipindahkan ke Telawa Kandis. Selanjutnya beliau memindahkan pula pusat kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua (Pematang Tuo) ke Bandar Tolam (sekarang menjadi Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan).
Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh Puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M), Tak lama kemudian beliau mangkat, dan digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), yang selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Raja ini selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M). Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri banyak diganggu oleh wabah penyakit yang banyak membawa korban jia rakyatnya, namun para pembesar belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih sangat baru. Akhirnya beliau mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), beliau segera memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri karena dianggap sial akibat wabah penyakit menular yang menyebabkan banyaknya rakyat menjadi korban, termasuk ayahandanya sendiri. Namun upaya itu belum berhasil, karena masing-masing Orang Besar Kerajaan memberikan pendapat yang berbeda. Pada masa pemerintahannya juga, perdagangan dengan Kuantan ditingkatkan melalui Sungai Nilo, setelah mangkat, beliau digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). pada masa pemerintahannya diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ketempat yang oleh nenek moyangnya sendiri, yakni "Maharaja Lela Utama" pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725 M, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, maka nama kerajaan "PEKANTUA KAMPAR", diganti menjadi kerajaan 'PELALAWAN", yang artinya tempat lalau-an atau tempat yang sudah dicadangkan. Sejak itu, maka nama kerajaan Pekantua tidak dipakai orang, digantikan dengan nama Pelalawan saja sampai kerajaan itu berakhir tahun 1946. Didalam upacara itu pula gelar beliau yang semua Maharaja Dinda II disempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja lela Dipati. Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesar, karena beliau membuka hubungan perdagangan dengan Indragiri, Jambi melalui sungai Kerumutan, Nilo dan Panduk. Perdagangan dengan Petapahan (melalui hulu sungai Rasau, Mempura, Kerinci). Perdangan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri (melalui sungai Kampar) dan beberapa daerah lainnya di pesisir timur Sumatera. Untuk memudahkan tukar menukar barang dagangan, penduduk membuat gudang yang dibuat diatas air disebut bangsal rakit (bangsal rakit inilah yang kemudian berkembang menjadi rumah-rumah rakit, bahkan raja Pelalawan pun pernah membuat istana rakit, disamping istana darat).
Ramainya perdagangan di kawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di Johor. Setelah Sultan Mahmud Syah II (Marhum Mangkat Dijulang) mangkat akibat dibunuh oleh Megat Sri Rama, sehingga arus perdagangan beralih ke kawasan pesisir Sumatera bagian timur dan tengah, terutama di sungai-sungai besar seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Rokan. Dalam waktu itulah Pelalawan memanfaatkan bandar-bandar niaga untuk menjadi pusat perdagangan antar wilayah di pesisir timur dan tengah Sumatera.
Sultan Mahmud Syah II yang mangkat dibunuh oleh Laksemana Megat Sri Rama tidak berputera, maka penggantinya diangkat Bendahara Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Tak lama datang Raja Kecil Siak menuntut Tahta Johor, karena beliau mengaku sebagai putera Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya yang bernama Encik Pong. (Catatan silsilah raja-raja Siak menyebutkan bahwa ketika Sultan Mahmud Syah II mangkat, Raja Kecil masih dalam kandungan bundanya, yang sengaja diungsikan keluar dari Johor. Dalam pelarian itulah beliau lahir, kemudian dibawa ke Jambi dan dibawa ke Pagarruyung. Disanalah beliau dididik dan dibesarkan, sampai beliau turun kembali ke Johor melalui Sungai Siak untuk mengambil tahta Johor yang sudah diduduki oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah itu. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada yang mengakuinya sebagai putera Sultan Mahmud dan ada yang menolaknya. Tetapi para pencatat sejarah dan silsilah dikerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakui bahwa beliau adalah putera Sultan Mahmud Syah II.
Raja kecil menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian terjadi pula pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Pertikaian itu terus berlanjut dengan peperangan berkepanjangan. Raja Sulaiman akhirnya berhasil menduduki tahta Johor, dan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan bantuan lima orang putera bangsawan Bugis (1722-1760). Sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor sebelumnya (1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat negeri di Buatan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Kecil memerintah Siak 1722-1746 M). Berlangsungnya kerusukan di Johor itu menyebabkan Pelalawan melepaskan dirinya dari ikatan Johor, apalagi berita yang sampai ke Pelalawan mengatakan, yang memerintah di Kerajaan Johor sekarang bukan lagi keturunan Sultan Alaudin Riayat Syah, yang dulunya menjadi raja Pekantua Kampar.
Pada masa Sultan Syarif Ali bin Sayyid Usman Assegaf berkuasa di Siak (1784-1811 M), beliau menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai yang "Dipertuan", karena beliau adalah pewaris Raja Kecil, putera Sultan Mahmud Syah II Johor. Pelalawan yang masih merupakan kerajaan Hindu dibawah pimpinan Maharaja Lela ini menolaknya. Maka pada tahun 1797 dan 1798, kerajaan Siak Sri Indrapura menyerang kerajaan Pelalawan. Dengan dibimbing oleh ayahnya, Sayyid Usman bin Abdurrahman Assegaf yang merupakan ulama dari Tarim Hadramaut, Yaman Selatan, Sultan Syarif Ali Assegaf berhasil menakhlukkan wilayah sekitarnya yang kemudian dikenal sebagai daerah Jajahan Dua Belas termasuk Kerajaan Pekan Tua. Kerajaan Pekan Tua yang berbasis hindu inilah yang kelak merupakan cikal-bakal kerajaan Pelalawan. Setelah Kerajaan Pekan Tua ditakhlukkan, Adik lelaki beliau yang bernama Tengku Said Abdurrahman Assegaf menaiki tahta memerintah.
Semenjak itu Kerajaan Pelalawan dirubah menjadi Kesultanan (Kerajaan Islam) dengan Tengku Said Abdurrahman Assegaf sebagai sultannya. Tengku Said Abdurrahman ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan sekitar tahun 1810-an dengan gelar SULTAN ASY-SYAIDIS ASY-SYARIF ABDURRAHMAN FAKHRUDDIN BA'ALAWI atau Sultan Syarif Abdurrahman Assegaf. Meskipun begitu Tengku Said Abdurrahman Assegaf tetap melakukan ikatan persaudaraan yang disebut "Begito" (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, raja Pelalawan yang dikalahkannya, karena merasa sama-sama keturunan Johor, kemudian mengangkatnya menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan Said Abdurrahman bin Sayyid Usman Assegaf, saudara kandung Syarif Ali Assegaf, Sultan Siak Sri Indrapura, sampai kepada raja Pelalawan terakhir
0 komentar:
Posting Komentar