Masjid Jamik Sultan Nata adalah sebuah masjid bersejarah di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, yang terletak di kompleks Istana Al Mukarrammah Sintang, tepatnya di Kampung Kapuas Kiri Hilir, Kabupaten Sintang. Pendirian masjid ini diprakarsai Pangeran Tunggal setelah naik tahta menggantikan Pangeran Agung (Sultan Sintang ke-17). Pada masa pemerintahannya, Islam berkembang sangat pesat. Pendirian tempat ibadah pun semakin mendesak. Masjid inilah yang menjadi cikal bakal Masjid Jami Sultan Nata Sintang.
Pembangunan masjid ini tidak terlepas dari penyebaran agama Islam yang terjadi di Kota Sintang. Sejak masa pemerintahan Pengeran Agung, agama Islam telah dianut oleh raja dan kerabat Kerajaan Sintang yang menggantikan agama sebelumnya, agama Hindu. Sejak saat itu, sistem pemerintahan kerajaan sintang lambat laun mengalami perubahan menjadi kesultanan Islam. Pada periode pemerintahan berikutnya, pada masa Pangeran Tunggal (anak Pangeran Agung), kebutuhan akan masjid terasa makin mendesak. Hal ini tak lepas dari meningkatnya jumlah penganut agama Islam di sekitar istana. Pangeran Tunggal lalu mendirikan sebuah masjid sederhana dengan kapasitas sekitar 50 orang. Masjid inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Masjid Jamik Sultan Nata Sintang. Dari konstruksi awal masjid yang dibangun oleh Pangeran Tunggal, Sultan Nata kemudian melakukan perbaikan dan perluasan masjid pada tahun 1672 M. Sultan Nata adalah raja yang menggunakan gelar "sultan" untuk pertama kalinya dalam sejarah Kerajaan Sintang pada masa sebelumnya (masa Hindu), gelar raja masih menggunakan sebutan Abang, Pangeran, atau Raden. Sesuai nama pendirinya, maka masjid ini kemudian diresmikan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dengan nama Masjid Jamik Sultan Nata Sintang pada tahun 1987.
Masjid Sultan Nata menggunakan arsitektur rumah panggung khas pesisir sungai. Konstruksi bangunan masjid seluruhnya terbuat dari kayu. Pondasi, rangka bangunan, balok gelegar, penutup atap, dan papan lantai terbuat dari kayu belian. Masjid Sultan Nata sebetulnya telah mengalami beberapa kali renovasi, namun delapan tiang penyangga yang terbuat dari kayu belian tetap dipertahankan sesuai aslinya hingga saat ini. Tiang berupa kayu silinder setinggi lebih dari 10 meter tersebut tetap berdiri kokoh meski usianya telah melampaui tiga abad. Ada cerita berbalut mistik ihwal tiang penyangga ini. Sekitar tahun 1997, ketika Sungai Kapuas surut, muncul sumber air dari salah satu tiang penyangga yang konon dapat memberi kesembuhan, sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk meminumnya. Namun sayang, saat ini, sumber air itu telah ditutup.
Bangunan masjid ini memiliki tiga susun atap. Atap pertama dan kedua berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi delapan. Bentuk atap kerucut ini juga dipakai pada atap dua menara kembar yang berada di samping masjid. Tiap bagian di dalam masjid dibalut dengan cat warna putih dengan sedikit garis-garis hijau di beberapa bagian, seperti pada jendela, dasar tiang, serta dinding. Sebagai pemanis hiasan, korden penutup jendela dipilih yang berwarna kuning, warna khas Melayu. Sementara di pojok masjid, terdapat bedug berusia ratusan tahun yang terbuat dari sebatang pohon utuh. Setelah renovasi pada tahun 2000, masjid ini dilengkapi dengan taman rumput yang cukup luas, dengan hiasan pohon-pohon palem yang rindang.
Di bagian muka masjid, juga dibangun jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Sejak tahun itu pula, masjid ini ditetapkan sebagai situs cagar budaya Kabupaten Sintang. Di masjid ini, para pelancong dapat menyaksikan susunan penghulu/menteri agama Kerajaan Sintang dari masa ke masa. Selain itu, takmir masjid juga menyediakan buku sederhana yang menceritakan sejarah berdirinya masjid serta renovasi-renovasi yang pernah dilakukan.
Bangunan masjid ini memiliki tiga susun atap. Atap pertama dan kedua berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi delapan. Bentuk atap kerucut ini juga dipakai pada atap dua menara kembar yang berada di samping masjid. Tiap bagian di dalam masjid dibalut dengan cat warna putih dengan sedikit garis-garis hijau di beberapa bagian, seperti pada jendela, dasar tiang, serta dinding. Sebagai pemanis hiasan, korden penutup jendela dipilih yang berwarna kuning, warna khas Melayu. Sementara di pojok masjid, terdapat bedug berusia ratusan tahun yang terbuat dari sebatang pohon utuh. Setelah renovasi pada tahun 2000, masjid ini dilengkapi dengan taman rumput yang cukup luas, dengan hiasan pohon-pohon palem yang rindang.
Di bagian muka masjid, juga dibangun jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Sejak tahun itu pula, masjid ini ditetapkan sebagai situs cagar budaya Kabupaten Sintang. Di masjid ini, para pelancong dapat menyaksikan susunan penghulu/menteri agama Kerajaan Sintang dari masa ke masa. Selain itu, takmir masjid juga menyediakan buku sederhana yang menceritakan sejarah berdirinya masjid serta renovasi-renovasi yang pernah dilakukan.
0 komentar:
Posting Komentar