Kota Sawahlunto adalah salah satu kota yang terletak di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota yang berjarak sekitar 95 km dari kota Padang ini, pada awalnya merupakan areal persawahan kemudian menjadi kawasan yang berorientasi pada industri pertambangan batu bara.Bentang alam kota Sawahlunto terbentuk oleh perbukitan terjal, landai dan dataran dengan ketinggian 250 – 650 m di atas permukaan laut. Bentangan alam dengan perbukitan terjal merupakan faktor pembatas dalam pengembangan tata wilayah kota ini, dimana sebelumnya pusat kota lama terletak pada daerah yang landai dan sempit serta memanjang dengan luas 5.8 km². Sedangkan kawasan datar yang relatif lebar terdapat pada kecamatan Talawi, wilayah ini terbentang dari utara ke selatan, sementara pada bagian utara yang bergelombang dan relatif datar, kawasan berpenduduk banyak berada pada kawasan dengan ketinggian 100 – 500 m di atas permukaan laut. Sedangkan kawasan yang terletak pada bagian timur dan selatan, memiliki topografi wilayah yang relatif curam (kemiringan lebih dari 40%).
Kota Sawahlunto terdiri dari kawasan hutan lindung (26,5%) dan kawasan budidaya (73,5%). Sedangkan untuk penggunaan tanah yang dominan adalah untuk perkebunan campuran (34,1%), hutan lebat dan belukar (19,5%), serta kawasan danau akibat bekas galian penambangan batu bara (0,2%). Seperti daerah lainnya di provinsi Sumatera Barat, kota Sawahlunto mempunyai iklim tropis dengan suhu berkisar anatara 22 °C. Sepanjang tahun terdapat dua musim yaitu musim hujan pada bulan November sampai Juni dan musim kemarau pada bulan Juli sampai bulan Oktober. Curah hujan rata-rata lebih kurang sebesar 1.071,6 milimeter per tahun dan curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Desember.
Sejarah
Kota Sawahlunto merupakan kota tambang, yang dimulai sejak ditemukannya cadangan batu bara di kota ini pada pertengahan abad ke-19 oleh Ir. de Greve, yang kemudian sejak 1 Desember 1888 pemerintah Hindia-Belanda mulai melakukan investasi, yaitu ketika uang sebesar 5.5 juta gulden ditanamkan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk membangun berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara, dalam memenuhi kebutuhan industri dan transportasi masa itu. Kemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Kota ini mulai memproduksi batu bara sejak tahun 1892[3], dan seiring dengan itu kota ini mulai menjadi kawasan pemukiman pekerja tambang, dan pemukiman ini terus berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.
Selanjutnya pemerintah Hindia-Belanda juga membangun jalur kereta api dengan biaya 17 juta Gulden untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari kota Sawahlunto menuju kota Padang. Sebelumnya pada tahun 1888, jalur kereta api beroperasi hanya sampai ke Muara Kalaban dan kemudian baru mencapai kota Sawahlunto pada tahun 1894. Sebelumnya kota ini juga merupakan kampung tahanan, dimana sampai tahun 1898 usaha tambang ini masih mengandalkan pekerja paksa yaitu narapaidana yang dipaksa bekerja untuk menambang dan dibayar dengan harga murah. Dan pada tahun 1908 untuk upah buruh paksa adalah sebesar 18 sen/hari dan jika membangkang dapat dikenakan sangsi hukum cambuk, upah buruh kontrak sebesar 32 sen/hari dan mendapatkan fasilitas tempat tinggal serta jaminan kesehatan. Sedangkan untuk buruh bebas upahnya sebesar 62 sen/hari tanpa mendapat fasilitas apapun.
Pada tahun 1918 kota Sawahlunto telah dikategorikan sebagai Gemeentelijk Ressort atau Gemeente dengan luas wilayah 778 Ha, atas keberhasilan kegiatan pertambangannya. Adanya angkutan kereta api telah mendorong produksi pertambangan batu bara memberikan hasil yang positif, dimana pada tahun 1920 produksi batu bara dari hanya puluhan ribu ton menjadi ratusan ribu ton per tahun, dari usaha yang rugi menjadi usaha dengan laba besar sampai 4,6 juta Gulden dalam setahun. Sehingga sampai pada tahun 1930, kota ini telah berpenduduk sebanyak 43.576 jiwa, diantaranya 564 jiwa adalah orang Belanda (Eropa). Kantor PT. Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin di kota Sawahlunto Setelah kemerdekaan Indonesia, selanjutnya hak penambangan dikelola oleh negara dan diberikan kepada PT. Tambang Batubara Ombilin (TBO), namun kemudian perusahaan ini dilikuidasi menjadi anak perusahan dari PT. Bukit Asam yang terdapat di Sumatera Selatan. Dan seiring dengan reformasi pemerintahan dan bergulir otonomi daerah, masyarakat setempat pun menuntut untuk dapat melakukan penambangan sendiri.
Penduduk kota Sawahlunto saat ini didominasi oleh etnis Minangkabau dan Jawa. Sejak tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 70-an produksi batubara kota ini merosot menjadi hanya puluhan ribu ton pertahun. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk kota ini pun mengalami penurunan menjadi 13.561 jiwa pada sensus tahun 1980. Setelah pemerintah menambah beberapa fasilitas, dan melakukan perubahan manajemen serta penerapan teknologi baru, maka sejak awal tahun 80-an, produksi batu bara kembali meningkat, dan pada akhir tahun 90-an, produksinya melampaui 1 juta ton pertahun. Sehingga jumlah penduduk kota Sawahlunto juga meningkat menjadi 15.279 jiwa menurut sensus tahun 1990, walaupun demikian laju pertumbuhan penduduk yang hanya 1,2% pertahun ini masih dibawah rata-rata laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat yang mencapai 1,62% dan tidak tampak mempunyai korelasi langsung dengan peningkatan produksi batu bara.
Pada tahun 1990 wilayah administrasi Kota Sawahlunto diperluas dari hanya 778 ha menjadi 27.345 ha yang membawa konsekuensi jumlah penduduknya meningkat. Berdasarkan hasil sensus 1995, jumlah penduduk kota Sawahlunto berubah menjadi 55.090 jiwa. Namun pertumbuhan jumlah penduduk kota ini hanya bersifat sementara karena berdasarkan sensus tahun 2000, jumlah penduduk kota Sawahlunto menunjukan gejala menurun, dimana tercatat jumlah penduduk adalah 50.668 jiwa, artinya selama lima tahun telah terjadi penurunan 8%. Hal ini diantaranya disebabkan karena sebagian perumahan pegawai Unit Pertambangan Ombilin (UPO) dipindahkan keluar daerah kota Sawahlunto. Sehingga dari segi ini tampak kaitannya antara usaha pertambangan batu bara dengan pertambahan jumlah penduduk kota Sawahlunto.
Kota Sawahlunto terdiri dari kawasan hutan lindung (26,5%) dan kawasan budidaya (73,5%). Sedangkan untuk penggunaan tanah yang dominan adalah untuk perkebunan campuran (34,1%), hutan lebat dan belukar (19,5%), serta kawasan danau akibat bekas galian penambangan batu bara (0,2%). Seperti daerah lainnya di provinsi Sumatera Barat, kota Sawahlunto mempunyai iklim tropis dengan suhu berkisar anatara 22 °C. Sepanjang tahun terdapat dua musim yaitu musim hujan pada bulan November sampai Juni dan musim kemarau pada bulan Juli sampai bulan Oktober. Curah hujan rata-rata lebih kurang sebesar 1.071,6 milimeter per tahun dan curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Desember.
Sejarah
Kota Sawahlunto merupakan kota tambang, yang dimulai sejak ditemukannya cadangan batu bara di kota ini pada pertengahan abad ke-19 oleh Ir. de Greve, yang kemudian sejak 1 Desember 1888 pemerintah Hindia-Belanda mulai melakukan investasi, yaitu ketika uang sebesar 5.5 juta gulden ditanamkan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk membangun berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara, dalam memenuhi kebutuhan industri dan transportasi masa itu. Kemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Kota ini mulai memproduksi batu bara sejak tahun 1892[3], dan seiring dengan itu kota ini mulai menjadi kawasan pemukiman pekerja tambang, dan pemukiman ini terus berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.
Selanjutnya pemerintah Hindia-Belanda juga membangun jalur kereta api dengan biaya 17 juta Gulden untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari kota Sawahlunto menuju kota Padang. Sebelumnya pada tahun 1888, jalur kereta api beroperasi hanya sampai ke Muara Kalaban dan kemudian baru mencapai kota Sawahlunto pada tahun 1894. Sebelumnya kota ini juga merupakan kampung tahanan, dimana sampai tahun 1898 usaha tambang ini masih mengandalkan pekerja paksa yaitu narapaidana yang dipaksa bekerja untuk menambang dan dibayar dengan harga murah. Dan pada tahun 1908 untuk upah buruh paksa adalah sebesar 18 sen/hari dan jika membangkang dapat dikenakan sangsi hukum cambuk, upah buruh kontrak sebesar 32 sen/hari dan mendapatkan fasilitas tempat tinggal serta jaminan kesehatan. Sedangkan untuk buruh bebas upahnya sebesar 62 sen/hari tanpa mendapat fasilitas apapun.
Pada tahun 1918 kota Sawahlunto telah dikategorikan sebagai Gemeentelijk Ressort atau Gemeente dengan luas wilayah 778 Ha, atas keberhasilan kegiatan pertambangannya. Adanya angkutan kereta api telah mendorong produksi pertambangan batu bara memberikan hasil yang positif, dimana pada tahun 1920 produksi batu bara dari hanya puluhan ribu ton menjadi ratusan ribu ton per tahun, dari usaha yang rugi menjadi usaha dengan laba besar sampai 4,6 juta Gulden dalam setahun. Sehingga sampai pada tahun 1930, kota ini telah berpenduduk sebanyak 43.576 jiwa, diantaranya 564 jiwa adalah orang Belanda (Eropa). Kantor PT. Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin di kota Sawahlunto Setelah kemerdekaan Indonesia, selanjutnya hak penambangan dikelola oleh negara dan diberikan kepada PT. Tambang Batubara Ombilin (TBO), namun kemudian perusahaan ini dilikuidasi menjadi anak perusahan dari PT. Bukit Asam yang terdapat di Sumatera Selatan. Dan seiring dengan reformasi pemerintahan dan bergulir otonomi daerah, masyarakat setempat pun menuntut untuk dapat melakukan penambangan sendiri.
Penduduk kota Sawahlunto saat ini didominasi oleh etnis Minangkabau dan Jawa. Sejak tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 70-an produksi batubara kota ini merosot menjadi hanya puluhan ribu ton pertahun. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk kota ini pun mengalami penurunan menjadi 13.561 jiwa pada sensus tahun 1980. Setelah pemerintah menambah beberapa fasilitas, dan melakukan perubahan manajemen serta penerapan teknologi baru, maka sejak awal tahun 80-an, produksi batu bara kembali meningkat, dan pada akhir tahun 90-an, produksinya melampaui 1 juta ton pertahun. Sehingga jumlah penduduk kota Sawahlunto juga meningkat menjadi 15.279 jiwa menurut sensus tahun 1990, walaupun demikian laju pertumbuhan penduduk yang hanya 1,2% pertahun ini masih dibawah rata-rata laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat yang mencapai 1,62% dan tidak tampak mempunyai korelasi langsung dengan peningkatan produksi batu bara.
Pada tahun 1990 wilayah administrasi Kota Sawahlunto diperluas dari hanya 778 ha menjadi 27.345 ha yang membawa konsekuensi jumlah penduduknya meningkat. Berdasarkan hasil sensus 1995, jumlah penduduk kota Sawahlunto berubah menjadi 55.090 jiwa. Namun pertumbuhan jumlah penduduk kota ini hanya bersifat sementara karena berdasarkan sensus tahun 2000, jumlah penduduk kota Sawahlunto menunjukan gejala menurun, dimana tercatat jumlah penduduk adalah 50.668 jiwa, artinya selama lima tahun telah terjadi penurunan 8%. Hal ini diantaranya disebabkan karena sebagian perumahan pegawai Unit Pertambangan Ombilin (UPO) dipindahkan keluar daerah kota Sawahlunto. Sehingga dari segi ini tampak kaitannya antara usaha pertambangan batu bara dengan pertambahan jumlah penduduk kota Sawahlunto.
Indah sekali kota Ini !!! moga makin maju !!! salam dari Jawa
BalasHapus