Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini sebelumnya disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya pernah juga dijuluki sebagai Parijs van Sumatra selain kota Medan,[4] dan kota Bukittinggi juga pernah menjadi ibukota negara Indonesia. Kota ini merupakan kota kelahiran salah seorang Proklamator RI yaitu Bung Hatta, disebut juga sebagai kota pusaka dengan Jam Gadang, yaitu sebuah landmark di ketinggian jantung kota, berbentuk jam besar mirip Big Ben, sekaligus menjadi simbol bagi kota yang juga berada pada tepi sebuah lembah yang bernama Ngarai Sianok. Selain itu kota Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban dari Negeri Sembilan di Malaysia.
Sejarah
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825 pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini, dikenal sebagai Benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota), dan juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, di mana pada kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam. Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibukota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006.[11][12] Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.
Walaupun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 sebagai dasar hukum baru pemerintahan daerah Kota Bukittinggi namun dalam implementasinya sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan.Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago, serta berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut. Kota ini juga berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan ini, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 - 110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang yang bermuara di pantai barat pulau Sumatera. Perkembangan penduduk kota Bukittinggi tidak lepas dari berubahnya Bukittingi menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau, dimulai dengan dibangunya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1890 dengan nama loods, masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak. Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi, mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock sebelah barat, membujur dari selatan ke utara, saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling. Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis, terhubung dengan beberapa kota-kota lain termasuk kota-kota yang berada di luar provinsi Sumatera Barat, seperti kota Pekanbaru dan kota Medan, dan merupakan kota yang dilalui oleh jalur Trans Sumatera Tengah. Terminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi dalam kota, tersedia sarana angkutan kota selain taksi berupa mikrolet dan bendi (kereta kuda).
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api dari kota Payakumbuh menuju kota Padang, yang dibangun sekitar awal abad ke 20 pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, namun setelah kemerdekaan sarana transportasi ini tidak aktif lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non kelas yang bernama Bandara Bukittingg .Perkembangan pasar Loih Galuang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah Hindia-Belanda waktu itu kembali mengembangkan pasar tersebut, dengan membangun kembali sebuah loods ke arah timur tahun 1900, tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit tersebut, karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar berikutnya di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Dalam penataan pasar, pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang (anak tangga) dan di antara yang terkenal disebut dengan nama Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan pemerintah kota Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir untuk barang-barang konveksi di kota Bukittinggi. Sementara pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jam Gadang seperti Pasar Ateh, Pasar Bawah dan Pasar Lereng, saat ini berkembang menjadi tempat penjualan hasil kerajinan tangan dan cinderamata khas Minangkabau. Disebabkan luas wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan yang tepat bagi pemerintah kota Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan perkapitanya, dan telah menjadi salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera.
Selain itu pemerintah kota Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan di antaranya pelatihan peningkatan deversifikasi dalam bentuk pelatihan peningkatan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya, serta penumbuhan wirausaha baru Pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu sektor andalan bagi kota Bukittinggi, banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota ini dijuluki juga sebagai "kota wisata". Saat ini di kota Bukittinggi telah terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[30] Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara lain The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako dan sebagainya. Lembah Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai Lubang Jepang Bukittinggi.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau, Kebun Binatang Bukittinggi dan benteng Fort de Kock yang dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di kota Bukittinggi. Pasar Ateh (pasas atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di dalam Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir[31] serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat seperti Karupuak Sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, Karupuak Jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau dan Karak Kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8. Saat ini juga telah dibangun beberapa pusat perbelanjaan modern di kota Bukittinggi.
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825 pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini, dikenal sebagai Benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota), dan juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, di mana pada kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam. Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibukota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006.[11][12] Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.
Walaupun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 sebagai dasar hukum baru pemerintahan daerah Kota Bukittinggi namun dalam implementasinya sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan.Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago, serta berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut. Kota ini juga berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan ini, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 - 110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang yang bermuara di pantai barat pulau Sumatera. Perkembangan penduduk kota Bukittinggi tidak lepas dari berubahnya Bukittingi menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau, dimulai dengan dibangunya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1890 dengan nama loods, masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak. Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi, mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock sebelah barat, membujur dari selatan ke utara, saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling. Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis, terhubung dengan beberapa kota-kota lain termasuk kota-kota yang berada di luar provinsi Sumatera Barat, seperti kota Pekanbaru dan kota Medan, dan merupakan kota yang dilalui oleh jalur Trans Sumatera Tengah. Terminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi dalam kota, tersedia sarana angkutan kota selain taksi berupa mikrolet dan bendi (kereta kuda).
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api dari kota Payakumbuh menuju kota Padang, yang dibangun sekitar awal abad ke 20 pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, namun setelah kemerdekaan sarana transportasi ini tidak aktif lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non kelas yang bernama Bandara Bukittingg .Perkembangan pasar Loih Galuang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah Hindia-Belanda waktu itu kembali mengembangkan pasar tersebut, dengan membangun kembali sebuah loods ke arah timur tahun 1900, tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit tersebut, karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar berikutnya di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Dalam penataan pasar, pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang (anak tangga) dan di antara yang terkenal disebut dengan nama Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan pemerintah kota Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir untuk barang-barang konveksi di kota Bukittinggi. Sementara pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jam Gadang seperti Pasar Ateh, Pasar Bawah dan Pasar Lereng, saat ini berkembang menjadi tempat penjualan hasil kerajinan tangan dan cinderamata khas Minangkabau. Disebabkan luas wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan yang tepat bagi pemerintah kota Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan perkapitanya, dan telah menjadi salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera.
Selain itu pemerintah kota Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan di antaranya pelatihan peningkatan deversifikasi dalam bentuk pelatihan peningkatan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya, serta penumbuhan wirausaha baru Pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu sektor andalan bagi kota Bukittinggi, banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota ini dijuluki juga sebagai "kota wisata". Saat ini di kota Bukittinggi telah terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[30] Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara lain The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako dan sebagainya. Lembah Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai Lubang Jepang Bukittinggi.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau, Kebun Binatang Bukittinggi dan benteng Fort de Kock yang dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di kota Bukittinggi. Pasar Ateh (pasas atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di dalam Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir[31] serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat seperti Karupuak Sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, Karupuak Jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau dan Karak Kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8. Saat ini juga telah dibangun beberapa pusat perbelanjaan modern di kota Bukittinggi.
Masyarakat kota Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda, dan setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang, yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889,[6] perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan dibeberapa kawasan lain di Sumatera Barat, dengan adanya pelombaan ini juga mendorong untuk tetap bertahannya para peternak kuda, selain sebagai tradisi juga sebagai sumber mata pencarian masyarakatnya.[32] Selain itu pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, kawasan ini juga menjadi landasan pacu atau lapangan terbang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar