Pages

Minggu, 28 Februari 2010

Pantai Karang Nini








Pantai Karang Nini tidak jauh dengan pantai Pangandaran Jawa Barat.Pantai ini memmang blum begitu terkenal, namun jangan salah loh pantai ini sangat indah dan masih asri , masih jauh dari campur tangan manusia.Pemandanganyapun tak kalah menariknya denga nppantai pangandaran atau pantai ciamis.pantai ini berjarak kurang lebih 10 km dari Pantai Pangandaran.



Alun-alun dan Masjid Agung






Tahun 1910, pemerintah Belanda membeli tanah milik cikal bakal penduduk Dago yang sekarang berlokasi di Dago Simpang. Kampung tua tersebut termasuk ke dalam jalur pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar. Jumlah uang yang dibayarkan untuk pembebasan lahan tersebut adalah sebesar 3.500 gulden. Konon kisahnya, saking banyaknya uang, para penduduk membagi uang dalam waktu sehari semalam dalam selembar sarung bantal untuk uang kertas dan selembar sarung bantal lainnya untuk uang recehan logam.


Kehadiran uang sebanyak 3.500 gulden membuat penduduk tidur tidak nyenyak. Semalaman mereka siskamling, bersenjatakan tombak, golok (bedog), dan Gegendir. Semakin malam suasana makin mencekam, sunyi jadi terasa ngeri.

Satu hal yang membuat penduduk merasa 'plong' alias lega adalah begitu mereka mendengar suara ini. Bunyi kohkol (kentongan, bahasa sunda) Masjid Agung di Alun-alun yang menandakan waktu Shubuh sudah tiba. Dahulu kala, suara kentongan dari masjid tersebut bisa terdengar jauh hingga Sukajadi, wastukencana, Jl. SIliwangi, Tegalega, dan Daerah RS. Hasan Sadikin sekarang. Dalam salah satu majalah yang terbit pada jamannya, "Mooi Bandoeng", diceritakan bahwa Pangeran Paribatra, "Sang Raja Siam", yang lagi menjalani pembuangan di Villa Cipaganti, bangkit dari peraduannya setiap subuh karena tergugah oleh bunyi kentongan tersebut.

Hingga saat ini Masjid Agung masih berdiri di Alun-alun Bandung. Sayangnya wujud asli Masjid Agung sudah tidak dapat kita lihat lagi. Di Abad 19 saja sudah dilakukan 3x perombakan dan disusul 4x perombakan di abad 20, dan bonus 1x renovasi besar-besaran di abad 21.

Pada mulanya, sekitar tahun 1812 Masjid Agung hanya berbentuk bangunan panggung tradisional yang sederhana, terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Atapnya belum berbentuk nyuncung (mengerucut seperti gunungan). Hanya kolam air yang luas sebagai tempat berwudhu yang ada di halaman depan, yang jadi pertanda bangunan ibadah itu. Tahun 1825 terjadi kebakaran besar di sekitar Alun-alun, air kolam tersebut berperan besar dalam menyelamatkan Masjid Agung. Setahun kemudian, bilik dan bambu Masjid agung diganti dengan kayu. (sumber foto: Buku Ramadhan di Priangan, Haryoto Kunto)
Memasuki tahun 2000an, akhirnya bangunan Masjid Agung secara resmi berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. Penduduk masih menyebutnya sebagai Masjid Agung. Tahun 2003, perombakan yang menelan biaya sebesar 36 miliar rampung dilakukan. Sementara itu halaman depan masjid yang dirombak. Parkir kendaraan ditempatkan di basement sementara bagian atasnya adalah taman, sebuah area publik tempat masyarakat berkumpul. Ini adalah salah satu upaya pemkot mengembalikan nilai Alun-alun seperti dahulu kala. Ruang bawah tanah untuk tempat parkir itu juga semula direncanakan untuk menampung para pedagang jalanan (PKL) meski hingga hari ini belum terealisasikan.

Dalam perjalanan sejarahnya, kejayaan Masjid Agung ada pada tahun 1910-1930an. Pada masa-sama itulah Masjid Agung menjadi kancah orang berdebat dan bermusyawarah tentang agama. Gaung Kohkol dan bedugnya masih terdengar di antero kota. Penduduk juga berakad nikah di sana yang pada waktu itu terkenal dengan sebutannya sebagai Bale Nyuncung, bukan Masjid Agung.

Saat ini, dua menara kembar yang mengapit bangunan utama masjid dapat dinaiki pengunjung. Di lantai paling atas, lantai 19, pengunjung dapat menikmati pemandangan 360 derajat kota Bandung. Dari puncak menara inilah kita dapat melihat seperti apa wajah kota Bandung kini yang penuh sesak dengan berbagai deretan bangunan komersil, hunian, pabrik, dan pohon yang semakin terkucilkan.
info : /www.mahanagari.com

Senin, 15 Februari 2010

Maha Vihara Maitreya



Maha Vihara Maitreya terletak di Jalan Cemara Boulevard Utara No 8 Kompleks Perumahan Cemara Asri, lokasi berdirinya Maha Vihara Maitreya, yang terbesar di Asia Tenggara. Masuk dari jalan utama kompleks kemudian berputar melewati sirkuit gokart maka tampaklah bangunan berwarna orange anggun berdiri di sana. Relief naga di bagian depan dua bangunan memberi kesan kekuatan.
“Kita memang yang terbesar di Asia Tenggara makanya namanya Maha Vihara Maitreya bukan Vihara,”


Sesuai dengan namanya, hampir setiap bagunan menampilkan patung Budha Maitreya, sosok dengan perut besar dan selalu tersenyum. Kabarnya, semua patung didatangkan dari daratan Tiongkok-Taiwan. Ditemani Herman, Sumut Pos pun memulai perjalanannya dari Gedung A, bagian paling kanan gedung. Gedung dengan luas 96x 30 meter terdiri dari empat lantai.

Lantai I diperuntukkan untuk perkantoran dengan luas 10×8 meter. Terdapat 10 kantor di situ. Sementara lantai dua, tiga, dan empat merupakan mes bagi pengurus. Lantai dua berisi 32 kamar, lantai tiga ada 26 kamar dan lantai empat ada 16 kamar berukuran 10×4 meter. Ini menunjukkan bagaimana pengelolaan yang dilakukan menggunakan metode yang profesional.

Di pintu masuk, pengunjung akan disambut oleh Patung Budha Maitreya yang terbuat dari kayu Hong, jenis dari Taiwan yang selalu menyebarkan bau harum yang khas. Begitu pun di pintu samping gedung sekretariat ini ketiga patung Budha Maitreya didampingi oleh Bodi Satva Kwan Im dan Panglima Perang, Bodhisatva Satyakalama atau Kwan Kong.

Di bagian samping Gedung Sekretariat ini dipajang lonceng berukuran besar yang disebut Kuai Le Zhong atau Genta Kebahagiaan. Genta berbobot tujuh ton itu didatangkan dari Tiongkok, posisinya digantung pada bangunan yang menaunginya. Tampak di sisi genta terukir aksara Tiongkok yang berisikan Dharma Hati. “Dharma Hati ini merupakan ajaran untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup,” jelas Herman.
Genta raksasa ini merupakan tujuan wajib para pengunjung yang datang ke Maha Vihara Maitreya. Tidak hanya untuk mengagumi, para pengunjung dipersilakan untuk membunyikan genta dengan kayu pemukul yang dipasang di sebelahnya. “Dengan memukul genta sebanyak tiga kali diharapkan akan membawa kebaikan dan rezeki kepadanya,” tambahnya.

Setelah Gedung A, perjalanan pun dilanjutkan ke sebelahnya yaitu Gedung B yang kalau dilihat dari depan merupakan gedung tengah. Menuju ke bagian tengah melintasi kolam Bodhisatva Kwan Im yang berada di antara Gedung A dan Gedung B. Tampak patung Bodhisatwa Kwan Im berwarna putih berdiri tegak di atas seekor naga dengan latar relief yang menggambarkan alam kehidupan nirwana. Patung Bodhisatva Kwan Im ini diapit oleh dua jembatan kebahagiaan di sebelah kiri dan jembatan kesehatan di sebelah kanan.

Beberapa ekor ikan koi beraneka warna berenang bebas di kolam memberi kesegaran dan kenyamanan saat berada di situ. “Orang berkunjung kemari tidak hanya untuk beribadah, bisa juga rekreasi. Dengan rekreasi segala penat akan hilang dan kembali bersemangat dalam menjalani kehidupan ini,” terang Herman.

Di gedung inilah terletak Altar Utama tepatnya di lantai dua disebut juga dengan Graha Maitreya (Mi Le Bao Dian) dengan ukuran 96×38 meter dan berdaya tampung seribu orang. Di sini terdapat Patung Budha Maitreya dengan pose duduk bersila. Patung setinggi tujuh meter ini terbuat dari tembaga yang didatangkan dari Taiwan. “Karena terlalu besar patungnya dirakit di Indonesia. Dari Taiwan kita datangkan lempengan patungnya,” beber Herman.

Di bagian belakang Altar Utama terdapat Graha Leluhur dengan luas 8 x 28 meter. Di situ terdapat lima papan berisikan nama kelima sesepuh yang disusun sesuai urutannya. Pintu dengan gaya khas Tiongkok memberi kesan tersendiri di bagian ini.
Turun ke lantai I terdapat Graha Sakyamuni (Da Xiong Bao Dian), Graha Guan Yin (Guan Yin Bao Dian), dan Graha Guan Gong (Guan Sheng Bao Dian). Tampak juga relief yang menceritakan Bodhisatva Kwan Im di sebelah kanan dan relief mengenai Bodhisarva Kwan Kong di sebelah kiri. Bangunan ini ditopang oleh 12 pilar polos.

Sementara di bagian luar terdapat delapan pilar naga. Ke delapan pilar ini seperti mengapit patung Budha Maitreya yang membawa kantung kebahagiaan serta sekeping emas di tangan kanannya. Menurut Herman, semua pengunjung dipastikan menghampiri untuk mengelus perut sang kebahagiaan ini. “Sampai perut sang patung Budha ini lecet karena memang semua pasti mengelus perut. Diyakini akan mendatangkan rezeki,” kata Herman seraya mengelus perut patung Maitreya dengan kedua tangannya.

Bagian akhir yaitu Gedung C dengan luas 96 meter x 30 meter terdiri atas tiga lantai. Adapun lantai satu adalah Teko Healty Resto berukuran 80 meter x 30 meter. Seperti namanya, restoran ini merupakan pusat jajanan ala vegetarian. “Budha Maitreya merupakan vegetarian maka kita pemujanya juga penganut vegetarian,” lanjutnya.

Di antara Teko Healty Resto dan Gedung B terdapat sebuah tempat bermain bagi anak-anak. Tampak replika kapal laut dilengkapi dengan celah yang sangat disukai anak-anak juga beberapa miniatur untuk bermain. Patung Bodhisatva Kwan Im yang didampingi patung malaikat kecil seolah menjadi saksi kebahagiaan mereka.
Di sisi luar resto, terdapat sebuah patung teko berwarna hijau. Bila dilihat sekilas, teko yang terus menuangkan air ke dalam cangkir ini seolah terbang. Kesan Teko Terbang ini pun kian nyata saat menyaksikannya di malam hari.

Bagian lain dari gedung C ini adalah serbaguna hall yang berada di lantai dua dan Sky Convention Hall di lantai tiga. Kedua bahagian ini dapat digunakan untuk kegiatan umum. Bahkan beberapa kali konser telah digelar di Sky Convention Hall. “Ruangan menggunakan pengedap suara jadi dipastikan tidak akan mengganggu kegiatan ibadah bila berlangsung bersamaan. Sky Convention Hall ini dapat menampung 3.000 orang,” papar Herman.

Kedatangan ke Maha Vihara Maitreya ini tidak akan lengkap bila tidak membawa cenderamata. Untuk souvenir tadi bisa didapatkan di Souvenir Shop yang satu bagian dengan Teko Healty Resto. Di situ dapat ditemui miniatur Maha Vihara Maitreya dari ukuran kecil hingga besar juga dalam beberapa pose. Demikian pula patung Budha Maitreya, Bodhisatva Kwan Im, Bodhisatva Kwan Kong, Sakyamuni (Sidarta Gautama) yang dibuat dengan beberapa bahan. Dua jam tak cukup rasanya melihat kemegahan dan keunikan di Maha Vihara Maitreya.

http://www.hariansumutpos.com

Selasa, 02 Februari 2010

Pantai Sendang Biru
















Pantai sendang biru terletak di desa Tambak Rejo kec Sumber Manjing Wetan sekitar 70 km arah selatan malang. pantai ini memilki ombak yang tenang karena dilindungi dari samudera indonesia oleh pulau sempu. Jarak pulau sempu dari pantai sekitar 300 meter. Anda bisa naik perahu yang tersedia dengan awak untuk menyeberang ke pulau sempu dan menikmati keindahan pantai. Atau bahkan anda bisa menyewa perahu kecil tanpa awak kalau anda bisa mengendalikan perahu.Disini tersedia berbagai fasilitas- fasilitas seperti parkir, lahan perkemahan, dan juga anda bisa berkunjung dan membeli ikan dengan harga murah di tempat pelelangan ikan yang dekat dengan pantai.



Pemandian Wendit











Pamandian wendit adalah sebuah kolam renang alami yang dilengkapi dengan tan bermain anak. Ada kepercayaan setempat yang mengatakan barang siapa pernah mandi di wendit akan berumur panjang. Pemandian ini terletak 10 km arah timur kota Malang tepatnya di desa Mangliawan kec Pakis. Dapat dijangkau dengan angkutan umum dari terminal Arjosari. Disini anda akan dapat menemukan kera2 yang saat ini jumlahnya sudah mulai menyusut.Pemandian ini ramai dikunjungi saat akhir pekan atau liburan sekolah.

Candi Singosari










Candi Singosari adalah Salah satu peninggalan bersejarah di Malang adalah candi Singosari. Dikenal juga dengan candi Kendedes, dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singasari yang meninggal tahun 1292. Didirikan tahun 1300 bersamaan dengan diselenggarakannya upacara shrada ditempat ini. Ciri khas candi singasari adalah dua arca raksasa Dwarapala, yang diyakini sebagai penjaga istana.